Gairah Wisata Lewat Media Sosial

wisata
Jembatan Panjang di Bontang Lestari. Salah satu spot favorit pemancing dan berpotensi menjadi tempat wisata baru di Bontang. (Dok Pribadi)

SAYA mengikuti pelatihan Promosi Wisata Kreatif melalui Media Sosial, Senin (23/7/2018) lalu. Bukan sebagai peserta, namun turut berpartisipasi sebagai pemateri, atau istilahnya inspirator di acara tersebut.

Tema ini sungguh menarik, karena pelaku wisata di Bontang sudah aware dengan pentingnya promosi melalui media sosial. Hal inilah yang membuat saya langsung mengiyakan tawaran untuk menjadi pemateri di acara kali ini.

Saya pun memulainya dengan memaparkan data yang berkaitan dengan tema ini. Pada 2017, ada sekitar 143,26 juta masyarakat Indonesia yang terhubung dengan internet. Ini berarti ada lebih dari 54 persen dari penduduk Indonesia juga sudah menjadi penduduk dunia maya.

Data itu kemudian dikerucutan kembali berdasarkan kelompok usia. Ditemukan hasil, sekitar lebih dari 49 persen pengguna internet di Indonesia, adalah penduduk berusia 19-34 tahun. Saya menyebutnya ini adalah generasi Y, yang lahir di kurun waktu 70an akhir hingga 90an akhir.

Sementara 29,55 persen merupakan pengguna di kelompok usia 35-54 tahun. Mereka saya sebut adalah generasi X yang lahir di kurun waktu 60an hingga 70an. Sisanya, yakni 16,68 persen yang dihuni kelompok usia 13-18 tahun. Saya menyebutnya generasi Z yang lahir di kurun waktu 90an akhir hingga pertengahan 2000an.

Dan 4,24 persen adalah kelompok usia di atas 54 tahun yang saya sebut generasi baby boomers yang lahir di sekitar tahun 40 hingga 50an. Data yang saya peroleh dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) ini bisa jadi landasan awal untuk merancang strategi promosi yang tepat dari pelaku wisata kepada target audience-nya.

Dari data ini pun sekilas bisa disimpulkan, jika generasi X, Y, dan Z adalah pasar potensial bagi para pelaku wisata untuk menggaet wisatawan. Sebenarnya, masih ada satu generasi lagi yakni generasi alpha, yaitu generasi yang lahir di tahun 2010 hingga saat ini.

Sekadar diketahui, generasi baby boomers adalah generasi yang hidup dengan teknologi konvensional seperti koran dan radio. Sementara generasi X, mereka hidup di era berkembangnya televisi, dan generasi Y hidup di era berkembangnya teknologi internet. Sedangkan generasi Z dan generasi alpha adalah mereka yang hidup di saat internet dan gawai sudah semakin memengaruhi kehidupan. Segala keperluan, akses informasi, dan lain sebagainya didapatkan dari gawai dan internet. Cukup sekali klik, apa yang dicari akan ditemukan dengan cepat dan mudah.

Kembali ke topik bahasan, dengan mengetahui pangsa pasar atau target umur wisatawan, maka dapat membantu untuk membuat konten-konten promosi yang lebih kreatif. Survei terbaru dari riset We Are Social Hootsuite, disebutkan Youtube merupakan media sosial yang lebih banyak diakses oleh netizen –sebutan warga dunia maya-. Baru diikuti oleh Facebook, Whatsapp, dan Instagram.

Hasil riset ini juga bisa jadi pegangan bagi pelaku wisata. Youtube, yang notabene adalah media sosial untuk berbagi video masih jadi pilihan favorit netizen, utamanya untuk mencari informasi terkait tempat wisata yang dikunjungi. Sedangkan Facebook dan Whatsapp, adalah media sosial tempat menyebarkannya informasi promosi wisata, dan Instagram sebagai “album foto” digital saat ini.

Lalu, seperti apa strateginya? Yakni dengan mengintegrasikan keempat media sosial tersebut menjadi satu. Youtube bisa dimanfaatkan oleh para pengelola wisata untuk mengeksplor lebih jauh pesona dan keindahan tempat wisata yang ditawarkan. Alih-alih tempat wisata, wisata kuliner pun juga bisa dibuatkan video yang sama dengan konsep ala-ala televisi masa kini.

Caranya, konsep video tersebut secara kreatif, buatlah seolah-olah para penonton video tersebut di Youtube nanti ikut merasakan mendatangi tempat wisata tersebut, atau merasakan apa yang ada di video tersebut. Tak punya Sumber Daya Manusia (SDM) andal untuk buat video? Para pengelola wisata bisa menggaet anak-anak SMA yang punya mata pelajaran film. Anda tak repot, dan juga berbiaya murah. Anak-anak pun pasti senang diajak berwisata.

Kemudian apa fungsi Facebook? Media sosial ini bisa “ditugaskan” untuk jadi halaman utama jika ingin mencari informasi lebih lanjut tentang tempat wisata yang dimaksud. Lengkapi mulai dari sejarah, aktivitas wisatawan yang sedang di tempat wisata tersebut dilengkapi beberapa fotonya, dan lain-lain. Sesekali, buatlah infografis tentang tempat wisata yang ditawarkan.

Langkah selanjutnya apa? Bagikan postingan tersebut di grup-grup Facebook. Bisa grup jual beli, grup warga kota, dan lain sebagainya. Selanjutnya, Whatsapp untuk apa? Whatsapp sebagai aplikasi messenger dapat digunakan untuk membagikan konten-konten yang sudah dibuat di Facebook maupun Youtube. Penetrasi langsung kepada calon wisatawan melalui pesan jaringan pribadi (japri), ataupun grup Whatsapp dinilai efektif untuk menggaet wisatawan baru.

Sementara Instagram, isilah dengan foto-foto yang “berbeda”. Berbeda seperti apa? Yakni dengan terkonsep dan terencana dengan baik. Selaiknya album foto yang baik, carilah angle atau sudut pandang yang menggambarkan keindahan wisata tersebut. Misalkan dengan deburan ombak, keragaman flora dan fauna, kelengkapan fasilitas, dan lain-lain. Sesekali, bisa dengan bantuan model untuk membantu memperindah foto tersebut.

Cara-cara ini, saya yakin juga sudah dilakukan oleh para pelaku wisata di Kota Taman. Buktinya, sudah ada kenaikan jumlah wisatawan yang cukup signifikan di 2018 ini. Dari data Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Bontang, ada kenaikan hingga tiga kali lipat. Ini sudah merupakan awal yang positif, yang harus menjadi penyemangat untuk membenahi dan meningkatkan angka wisatawan di Bontang.

Namun, seluruh langkah-langkah ini tak ada artinya jika tak ada konsistensi. Konsistensi dalam berpromosi di dunia maya. Selain itu, pentingnya tetap menjaga dan merawat tempat wisata baik oleh pengelola wisata itu sendiri maupun wisatawan itu sendiri. Sebab, saya pun melihat langsung masih banyak oknum wisatawan yang tak peduli dengan kebersihan dan keindahan tempat wisata yang dikunjunginya.

Di salah satu obyek wisata Mangrove misalnya, dengan seenaknya membuang bungkus makanan di laut. Padahal, tempat sampah hanya berjarak sekitar 20 meter dari tempatnya berdiri. Jika Bontang ingin menjadi salah satu dari “Bali Baru”-nya Indonesia, maka perlu kerjasama antara pemerintah serta masyarakat.

Dengan fokus pembangunan ke arah maritim, pengembangan potensi wisata maritim di Kota Taman saya yakin masih dapat terus berkembang. Terlebih, Pemkot Bontang sudah mendukung penuh dan masuk dalam visi-misinya. Tinggal bagaimana masyarakat turut meramaikan tempat wisata di Bontang.

Tak hanya mengunjunginya, namun juga merawatnya, ikut menjaga kebersihan dan keindahannya, serta membagikan cerita keindahannya tersebut kepada masyarakat dunia maya, sehingga dapat tersebar ke seluruh penjuru nusantara, bahkan dunia. (*)

Sudah terbit di Bontang Post.

Pos terkait

Berikan Komentar