Saring sebelum Sharing

sharing
Ilustrasi foto: Tribunnews.com

SAYA tercengang melihat berita hari ini (12/3/2021). Berita yang saya sunting, tentang penjualan SIM card yang sudah teregistrasi. Jumlahnya pun tak main-main, 66 ribu SIM cardyang disita polisi. Lebih dari tiga perempatnya sudah terisi dengan data orang lain. (Baca juga: Polresta Samarinda Ungkap 66 Ribu SIM Card Teregistrasi Orang Lain)

Setelah SIM card-nya siap, dijual dengan harga murah. Rp 10 ribu-20 ribu per kartunya. Pembeli tak perlu repot mendaftar kembali. Dalih penjual, “beli, tinggal pakai.”

Bacaan Lainnya

Seolah cara ini terbilang praktis. Namun ternyata ada bahaya yang tersembunyi. Karena SIM cardyang dibeli tak seutuhnya milik pribadi. Kartu perdana itu masih “milik” orang lain.

Inilah yang diresahkan polisi. Susahnya menangkap pelaku-pelaku penipuan via onlineyang jamak terjadi, dicurigai karena menggunakan SIM card yang sudah lebih dulu teregistrasi ini. Dengan temuan polisi ini, saya ikut cemas. Apakah data saya termasuk yang diperjualbelikan?

Saya mencoba menelusuri di mesin pencari Google. Baru saja mengetik “KTP Elektronik” dalam kolom pencarian, muncul lebih dari 6 juta hasil pencarian terkait KTP di sana. Gambar-gambar yang muncul bahkan sebagiannya terpampang utuh. Dalam arti, mulai Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, alamat, hingga golongan darah ada di sana.

Baca juga: Bijak Bermedia Sosial

Kata Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI) Zudan Arif Fakhrulloh, dikutip dari tirto.id, ada sejumlah pihak yang “memulung” data pribadi yang tercecer di internet. Kadang juga masyarakat membagikan sendiri data kependudukannya di dunia maya. Data kependudukan tak hanya disimpan oleh pihaknya.

Saya menggarisbawahi kalimat “membagikan sendiri data kependudukannya di dunia maya”. Inilah yang membuat saya ngeri. Dan ini pula lah yang saya temukan di internet. Kala masyarakat masih dengan leluasa memamerkan KTP maupun Kartu Keluarga (KK)-nya. Padahal harus disadari, data ini sangatlah rahasia.

Dalam era big data seperti ini, NIK ibarat single identity number. Satu nomor yang menghubungkan ke banyak hal. Seperti rekening di bank, surat izin mengemudi, akses ke jaminan kesehatan, e-commerce, dan lain-lain. Jika tak dijaga dengan bijak, bisa jadi data kita digunakan oleh orang jahat tadi. Entah mereka mengaku sebagai diri kita, ataupun digunakan untuk menipu anggota keluarga.

Di Pasal 28G Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 jelas mengakui adanya hak privasi warga negara. Namun nyatanya, negara masih belum memberikan perlindungan terhadap data pribadi warga.

Untuk itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) sudah sewajarnya didesak publik. Sudah kesekian kalinya, RUU ini terlempar dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Padahal, RUU ini penting agar masyarakat juga mendapat jaminan atas kerahasiaan data pribadinya.

Namun publik tak bisa hanya menunggu undang-undang disahkan. Perlu ada partisipasi diri, minimal mencegah datanya sendiri bocor ke dunia maya. Salah satunya, untuk berhati-hati dalam mengunggah dan membagikan (sharing) data pribadi.

Sama halnya saat ramai-ramai vaksinasi COVID-19 perdana. Sejumlah orang dengan bangga memosting sertifikat vaksinasinya. Entah di media sosial Facebook, atau story Instagram, bahkan juga di pesan singkat WhatsApp. Perlu diingatkan, di dalam sertifikat itu, ada unsur NIK, nomor ID sertifikat, serta QR code. Beberapa memang ada yang memosting utuh, ada pula yang memosting dengan menutupi NIK dan ID sertifikatnya. Namun tampaknya mereka lupa menutup QR code-nya.

Hal ini juga diamini Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Menkominfo RI) Johnny G. Plate. Dilansir dari beberapa media, ia meminta masyarakat untuk tidak mengunggah sertifikat vaksinasi itu. Apalagi diunggah secara utuh. Sebab, hanya dengan membaca QR code saja, data orang yang vaksinasi itu bisa terbaca.

Jangan sampai, kita yang dirugikan akibat ulah kita sendiri. Gara-gara sharing sembarangan, data kita ikut dimanfaatkan. Padahal, Bang Napi, tokoh ikonis program kriminal di salah satu televisi swasta itu sudah sering berkata, “kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat pelakunya, namun karena juga ada kesempatan.” Semoga kita semua tak memberi kesempatan orang-orang jahat untuk berbuat semaunya, terutama dengan data pribadi kita. (*)

Artikel ini telah tayang di Nomorsatukaltim.com, Jumat (12/3/2021).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *