UKW dan Media Sosial

ukw

Saya baru saja mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bontang, Sabtu-Minggu (27-28/2/2021) lalu. Sekadar diketahui, UKW sama seperti sertifikasi profesi yang digelar pemerintah. Bedanya, ini khusus digelar untuk wartawan.

Ada tiga tingkatan kompetensi wartawan. Pertama, wartawan muda. Tingkatan ini untuk wartawan pemula yang baru menjalani profesi ini minimal setahun. Kedua, wartawan madya. Tingkatan ini untuk level asisten redaktur, redaktur, hingga redaktur pelaksana. Ketiga, wartawan utama. Tingkatan ini untuk level wakil pemimpin redaksi dan pemimpin redaksi.

Bacaan Lainnya

Gelaran UKW yang digelar PWI Bontang ini merupakan angkatan ke-19. Dua dari tiga uji kompetensi digelar, yakni wartawan muda dan wartawan madya. Diikuti oleh 17 peserta, dengan rincian 12 peserta wartawan muda, dan 5 wartawan madya.

Hasil ujian ini pun diumumkan terbuka oleh penguji kepada masing-masing peserta. Kompeten, atau tidak kompeten. Bersama hasil ujian, dengan nilai minimal kelulusan adalah 70. Di UKW angkatan ke-19 ini, 16 peserta dinyatakan kompeten, hanya satu yang dinyatakan belum kompeten.

Bagi saya pribadi, ini adalah UKW yang kedua. Pertama kali mengikutinya, di November 2016 lalu. Waktu itu, mengikuti ujian level muda. Ya, namanya juga baru berkecimpung secara penuh di profesi ini saat lulus kuliah di tahun yang sama. Alhamdulillah, saat itu dinyatakan kompeten sebagai wartawan muda.

Nyaris lima tahun berselang, ini adalah gelaran UKW saya yang kedua. Kali ini, mengambil level madya. Jujur, ini adalah UKW yang susah-susah gampang. Susahnya, karena saya sudah jarang turun ke lapangan. Sebagian besar waktu, terutama di dua tahun terakhir saya habiskan hanya di belakang meja. Ya, itu salah saya. Mohon jangan ditiru.

Gampangnya, sebagian besar mata uji di level madya sudah saya kuasai. Kecuali di satu mata uji: investigasi. Selama ini ada beda persepsi. Liputan yang dulu saya anggap investigasi, oleh penguji hanya disebut in-depth news. Saya pun harus belajar singkat selama 12 jam sebelum memasuki mata uji itu. Alhamdulillah, saya lulus. Dinyatakan kompeten sebagai wartawan madya.

Ada banyak pelajaran yang saya dapat dari UKW kali ini. Selain ilmu baru, ujian kali ini menyadarkan saya akan esensi utama wartawan saat ini di era digital. Hal yang membuatnya berbeda dengan media sosial. Disiplin verifikasi namanya.

Suasana ruang uji kompetensi wartawan madya. (Foto: Fahmi Fajri)

Media sosial saat ini ibarat gado-gado. Semua informasi bercampur. Dari yang positif sampai negatif. Dari yang memberi motivasi, sampai yang memberi provokasi. Jika demokrasi, kata Abraham Lincoln adalah (pemerintah) dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka media sosial adalah (informasi) dari pengguna, oleh pengguna, dan untuk pengguna.

Informasi yang begitu melimpah itu jika tak disikapi dengan bijak, dapat berpengaruh negatif di dunia nyata. Informasi hoaks soal vaksin covid misalnya. Atau informasi aktivitas seismik yang malah dianggap hoaks oleh warganet. Hingga internet seluruh dunia padam, informasi-informasi tersebut akan terus berseliweran di dunia maya.

Lalu, siapakah yang bisa memverifikasi kebenaran informasi-informasi tersebut di dunia maya? Wartawan adalah jawabannya. Profesi ini memiliki akses untuk menghubungi narasumber terkait informasi yang dicari. Memiliki kemampuan menyajikan fakta yang didapat, untuk menjernihkan informasi yang simpang siur di masyarakat.

Untuk itulah, di beberapa media hadir rubrik clearing hoax. Membersihkan kabar-kabar hoaks yang beredar di masyarakat melalui media sosial. Memberikan informasi yang lebih akurat. Agar masyarakat tidak terjebak pada informasi yang salah.

Bagaimana bisa yakin wartawan tersebut mendapatkan informasi yang benar? Salah satunya, ialah kompetensinya. Wartawan yang dinyatakan berkompeten, baik level muda, madya, dan utama, adalah wartawan yang sudah lulus di segala aspek dan prosedur jurnalistik yang benar. Mampu merencanakan, mengolah, dan memublikasikan berita dengan proses yang ketat. Untuk memastikan berita yang sampai ke masyarakat sahih adanya.

Apakah media sosial bisa melakukan itu? Saya bilang tidak. Meskipun beberapa platform terkenal sudah mulai menyusun algoritma untuk hanya menampilkan informasi-informasi dari sumber-sumber valid. Namun, kebebasan berpendapat di media sosial masih memungkinkan terjadinya bias informasi di sana.

Lalu, apakah harus selalu menunggu wartawan atau media tertentu menguji informasinya dan menerbitkannya di media mereka? Tentu saja tidak. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah skeptis terhadap informasi yang berkembang. Skeptis terhadap informasi ini harus didasarkan pada sense of journalism. Melihat fakta-fakta dalam suatu informasi tersebut sudah memenuhi 5W+1H (what, who, where, when, why, how). Dan mencoba membandingkan informasi itu dengan sumber-sumber terpercaya lainnya.

Jika dari 6 unsur dasar jurnalistik itu dianggap mencurigakan, sudah sepatutnya berhenti membukanya. Apalagi menyebarkannya kembali di media sosial. Karena jika dilakukan, pembodohan publik akan menang dengan sendirinya.

Kemampuan inilah yang harus terus diasah. Terutama bagi para warganet aktif. Agar tak menjadi korban ataupun pelaku dari informasi hoaks. Wartawan dan warganet bisa saling bergandeng tangan. Untuk sama-sama memerangi kabar bohong di dunia maya. Dengan begitu, mungkin akan tiba juga satu masa, saat warganet juga perlu disertifikasi kemampuan literasinya. Kita namakan saja UKW: Uji Kompetensi Warganet. (*)

 

Catatan: Untuk meningkatkan sense of journalism warganet, saya akan mulai membagikan konten terkait jurnalistik mulai April 2021. Semoga bisa bermanfaat untuk meningkatkan daya literasi memilah informasi yang tepat.

Pos terkait

Berikan Komentar