Berandai-andai ialah hak setiap orang. Biasanya dilakukan setelah mengalami atau melewati satu peristiwa yang berpengaruh. Baik kepada dirinya atau pun sekitarnya. Namun pengandaian ini bukan berarti menyesali pilihan. Karena itu sudah kehendak Tuhan, setiap orang sudah pasti menjalaninya.
Namun tidak ada salahnya berandai-andai. Apalagi jika menyangkut hajat publik. Terlebih lagi kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Seperti yang ditulis oleh Nurudin dalam buku teranyarnya, “Andai Pemerintah Mau”.
Buku setebal 156 halaman itu berisikan unek-unek penulisnya terhadap kondisi bangsa ini. Terutama terkait kebijakan pemerintah yang dinilai kerap membuat bingung masyarakat. Apalagi saat pandemi COVID-19 mulai melanda.
Gaya penulisan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam buku ini memang “menggelitik”. Tak hanya menggelitik pemerintah, namun juga masyarakat. Sebab, meski buku ini ada unsur kata “Pemerintah”, nyatanya tak hanya mereka yang disinggung penulis ini. Tradisi atau kebiasaan masyarakat dalam menyambut suatu momen atau kejadian tertentu turut jadi perhatian.
Judul Buku Andai Pemerintah Mau Penulis Nurudin Penerbit Inteligensia Media, Malang Cetakan 1, Maret 2021 Tebal 156 halaman ISBN 978-623-6548-72-1
Secara umum, ada tiga bagian dalam buku ini. Bagian pertama adalah “Aturan Tinggal Aturan, Pelanggaran Jalan Terus”. Dalam bagian ini, penulis buku ini mengkritik pemerintah yang kerap kali membuat aturan, namun juga kerap kali dilanggarnya. Aturan yang semestinya dapat ditegakkan demi kemajuan peradaban bangsa, justru minim pelaksanaannya di lapangan.
Dalam satu paragraf di bagian ini, Nurudin menulis, berbagai carut-marut sistem pemerintahan kita selama ini karena tiadanya penegakan hukum yang pasti, tegas, dan nyata. Hukum sekadar menjadi hiasan administratif bahwa kita memang kaya hukum. Lembaga legislatif memang banyak memproduksi hukum. Tetapi tidak ada yang menangkal bahwa para pemroduksi hukum itu “bersih” dari masalah hukum, bukan?
Pun misalnya dalam mengambil kebijakan. Sudah berulang kali membuat keputusan yang hasilnya tak memuaskan, tak efektif dalam pelaksanaannya. Namun kerap kali pula pemerintah tetap mengambil kebijakan serupa. Seolah tak belajar dari pengalaman sebelumnya. Sudah sering salah langkah, namun masih juga dilakukan. Pakar komunikasi ini menyebut seperti seekor keledai yang harus terantuk dua kali agar dapat belajar.
Di bagian kedua, adalah “Masyarakat Tak Berdaya, Negara Kuat”. Bagian ini sejatinya menggambarkan peran serta masyarakat yang seharusnya dapat menguatkan bangsa, namun juga dihalang oleh sekelompok lainnya yang tak senang, atau fanatik dalam mendukung pemerintah. Akibatnya, proses demokrasi dan penyampaian aspirasi kerap kali tersumbat. Entah memang “disumbat”, atau pemerintah yang tak mau dengar.
Wujud sekelompok yang dimaksud itu, di antaranya adalah buzzer. Nurudin menulis, buzzer memang layak dikutuk karena perilakunya mengancam harmoni di masyarakat. Siapa pun yang memanfaatkan buzzer menjadi pihak yang bertanggung jawab. Namun kita pun turut berterima kasih kepadanya. Karena buzzer telah menjadi musuh bersama, membuat masyarakat bersatu untuk melawannya.
Sementara di bagian ketiga, adalah “Orang Gila, Makin Dicari Karena Berani”. Di tengah kejenuhan masyarakat terhadap situasi bangsa, perlu beberapa langkah “gila” agar bangsa ini sedikit tertawa. Tak melulu terbawa suasana serius nan mencekam. Soal politik anggap saja sebagai lawakan, karena toh pemerannya kadang “menghibur” masyarakatnya dengan berbagai aturan yang kerap kali juga dilanggarnya.
Buku ini adalah kumpulan tulisan dari Nurudin yang sebelumnya sudah terbit di berbagai media massa. Tulisan-tulisan yang berserakan itu dikumpulkan menjadi satu. Dengan gaya tulisan yang ringan dan mengalir, pembaca akan mudah mencerna pemikirannya. Agar dapat sama-sama merenungi persoalan bangsa ini. Karena merenung adalah kesadaran paling dasar bagi tiap insan. (***)
Tulisan ini telah terbit di nomorsatukaltim.com