Media Berpihak

Media Berpihak
Cuplikan layar Zoom Meeting dengan mahasiswa Ilmu Komunikasi UMM.

Ada satu pertanyaan menarik yang disampaikan mahasiswa semester 5 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), kala zoom meeting dengan saya dalam sesi “kuliah tamu”, Senin malam 4 Desember 2023.

Pertanyaan ini pun mungkin juga ada di benak mahasiswa lain, atau bahkan masyarakat, di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi lima tahunan yang sebentar lagi digelar, bahkan tahapannya sudah berjalan saat ini. Satu pertanyaan ini, mewakili apa yang ada di pikiran rata-rata masyarakat kebanyakan.

Bacaan Lainnya

“Di tengah Pemilu 2024 ini, bagaimana menanggapi media yang berpihak? Bukankah itu melanggar kode etik jurnalistik?”

Itulah pertanyaan dari salah satu mahasiswa yang haus akan jawaban kritis. Hal itu pula yang pernah saya tanyakan kala Pemilu 2014 silam kepada salah seorang dosen saya, bahkan sampai ke teman-teman jurnalis yang saya kenal saat itu.

Keberpihakan media dalam pemilu memang belakangan sudah lumrah terjadi. Ada yang terang-terangan, ada pula yang tidak. Rata-rata keberpihakan ini muncul karena pilihan politik sang pemilik media ke salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, atau kepada partai tertentu.

Apakah melanggar kode etik jurnalistik? Bisa iya, bisa tidak. Yang bisa menilai hanyalah Dewan Pers yang memiliki wewenang itu. Namun bagaimana melihat praktik keberpihakan media itu?

Keberpihakan media kepada pilihan politik tertentu paling tampak terlihat dari pemilihan angle atau sudut pandang berita. Jika media cenderung pro ke salah satu pasangan calon atau salah satu partai, maka pemberitaan positif tentang pasangan calon atau partai itu akan diperbanyak, dan sebaliknya bisa juga cenderung menyerang kubu sebelahnya.

Hal lain yang bisa tampak, adalah intensitas bahkan durasi iklan politik tersebut tayang. Jika intensitas dan durasinya lebih banyak kepada salah satu partai atau pasangan calon daripada partai lain maupun kubu lainnya, hal itu sudah mengindikasikan adanya keberpihakan.

Untuk itulah, KPU biasanya sudah mengatur bagaimana media menayangkan iklan kampanye di masa-masa pemilu seperti saat ini. Media mana yang melanggar, pun sudah ada sanksi yang harus siap diterima.

Namun pengawasan dari KPU atau Bawaslu saja tidaklah cukup. Masyarakat sebagai pemegang hak suara sesungguhnya harus turut berperan dalam pengawasannya. Meskipun di balik media ada pemodal besar yang punya pilihan politik tertentu, namun jika masyarakat memilih untuk mencari alternatif lain, rasa-rasanya pemilik media nantinya juga akan pikir-pikir untuk tetap di jalur tersebut.

Meskipun media punya fungsi pengawasan, namun masyarakat pun juga bisa memilih mana media yang benar-benar mengesampingkan pilihan politik pemiliknya. Setidaknya, masyarakat bisa memilih, mana media yang berpihak kepada kebenaran, bukan berpihak kepada kebenaran yang direkayasa. ***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *