Humanis vs Arogansi

Humanis vs Arogansi
Ilustrasi polisi humanis vs polisi arogan.

Saya melihat satu isu yang menarik diperbincangkan. Terkait polisi yang ingin dicitrakan sebagai aparat yang humanis.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Telegram (ST) nomor 750/IV/HUM.3.4.5/2021 yang dikeluarkan 5 April 2021. Surat tersebut berisikan sebagai berikut:

  1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanistik.
  2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.
  3. Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.
  4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.
  5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.
  6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.
  7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban, dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.
  8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.
  9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.
  10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan, agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten.
  11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang tata cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

Surat ini kemudian ditandatangani oleh Kadiv Humas Mabes Polri atas nama Kapolri. Surat tersebut kemudian ditujukan kepada Kapolda di seluruh Indonesia.

Usai surat ini terekspos ke publik, sejumlah kalangan kemudian mengecam. Rata-rata mereka adalah organisasi pers dan wartawan, yang berkaitan langsung dengan publikasi aktivitas kepolisian. Selain itu, sejumlah praktisi komunikasi serta media watch turut mengkritisi keluarnya surat ini.

Mereka menyebut, surat ini adalah cara kepolisian menyembunyikan kebenaran dari publik. Padahal, polisi juga adalah aparat negara, yang mereka juga digaji oleh uang rakyat melalui pajak. Sudah sewajarnya, publik ikut mengawasi polisi agar kinerja aparatur terus membaik.

Saya pun berpendapat demikian. Meski surat ini sejatinya ditujukan untuk humas-humas kepolisian, namun tidak boleh ada upaya-upaya “mengondisikan” tindak tanduk kepolisian di depan media. Upaya mencitrakan diri sebagai polisi yang humanis, bisa jadi bertolak belakang dengan kejadian sebenarnya.

Sebagai pintu gerbang informasi, humas kepolisian seperti diarahkan untuk menerapkan agenda setting. Agenda Setting adalah menciptakan public awareness (kesadaran masyarakat) dengan menekankan sebuah isu yang dianggap paling penting untuk dilihat, didengar, dibaca, dan dipercaya di media massa.[^1]

Apa yang membuat kepolisian diduga menerapkan agenda setting? Dalam ST poin pertama, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanistik. Saya berpandangan, poin ini berarti membenarkan ada tindakan aparat yang menerapkan arogansi dan kekerasan selama ini. Kegiatan itu coba ditutupi dengan kegiatan-kegiatan kepolisian yang lebih humanis.

Ini pun senada dengan pernyataan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim yang dimuat Tirto.id. Ia mengatakan, lewat surat itu kepolisian sama saja membatasi kerja-kerja jurnalistik. Surat tersebut tampak berupaya menyembunyikan kekerasan dari media–dan dengan demikian publik–padahal “polisi selama ini menjadi aktor dominan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan yang dialami warga sipil di sektor-sektor lainnya,” ujar Sasmito.[^2]

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan AJI Indonesia menyebutkan, kasus kekerasan terhadap wartawan pada 2020 meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya. Pada 2020 terjadi 117 kasus kekerasan terhadap wartawan dan media, sementara pada 2019, 79 kasus atau meningkat 32 persen.

Dari 117 kasus tersebut, sebanyak 99 kasus terjadi pada wartawan, 12 kasus pada pers mahasiswa, dan 6 kasus pada media, terutama media siber.

Sementara AJI Indonesia mencatat pada 2020 terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan atau bertambah 31 kasus dibandingkan pada 2019 (53 kasus). Pelaku kekerasan paling banyak adalah aparat. “Terbaru kasus Jurnalis Tempo Nurhadi di Surabaya,” kata Sasmito.

Usai kritik terhadap surat tersebut meluas, Kapolri pun akhirnya mencabut surat telegram tersebut, Selasa (6/4/2021). Dilansir Kompas.com, pencabutan tersebut dituangkan melalui Surat Telegram ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 bertanggal 6 April 2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri. Surat telegram ditujukan bagi para kapolda, secara khusus kepala bidang humas (kabid humas).[^3]

Kapolri pun kemudian meminta maaf. Ia membenarkan, masih ada anggotanya yang melakukan tindakan arogan di lapangan saat bertugas. Kapolri Jenderal Listyo Sigit pun meminta personelnya berhati-hati dalam bertugas dan tetap mengedepankan sisi humanis.

Apakah polemik ini usai? Ya. Karena persoalan ini hanya sebab multi tafsir dalam memahami surat itu. Namun soal arogansi kepolisian, tentu harus diperbaiki dan harus diawasi bersama. Karena sifat arogan biasanya muncul dari institusi atau lembaga yang kadung merasa paling benar dan punya kuasa. Hal itu ditandai dengan eratnya kepentingan penguasa di dalamnya.

Inilah pokok yang harus diawasi bersama. Menciptakan polisi yang humanis tentu bisa dilakukan, dengan syarat semua elemen masyarakat turut mengawasi institusinya. Pengawasan bersama, juga bisa mewujudkan tujuan Polri yang transparan, sesuai cita-cita Kapolri itu sendiri. Jadi, mari kita sama-sama awasi. (*)


Referensi:

[^1]: TEORI AGENDA SETTING DAN FRAMING DALAM MEDIA RELATIONS

[^2]: Surat Kapolri ‘Offside’ Sembunyikan Kekerasan dari Peliputan Media

[^3]: Telegram Larangan Siarkan Kekerasan Polisi Berujung Permintaan Maaf Kapolri

Pos terkait

Berikan Komentar