Netizen tengah ramai membicarakan RCTI. Pasalnya, mereka menggugat Undang-undang (UU) Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut televisi swasta tersebut, rumusan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran a quo menimbulkan multi-interpretasi yang pada akhirnya melahirkan kontroversi di tengah publik.
Gugatan tersebut lantas direspon publik. Tak sedikit yang mengecam langkah media milik Hary Tanoesoedibyo itu. Sebab, kebebasan mereka untuk melakukan live streaming atau siaran langsung di media sosial kini terancam. Jika gugatan tersebut dikabulkan, makna penyiaran dalam UU tersebut tak hanya berkutat di frekuensi radio, namun juga menyentuh media sosial. Setiap individu, kelompok masyarakat, dan badan hukum yang melakukan aktivitas siaran langsung di media sosial tanpa memegang izin penyiaran, akan dianggap ilegal.
Respon serupa pun ditunjukkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Dikutip dari Detik.com, perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin, ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli.
Sementara pihak penggugat beralasan, apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa, demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas itu.
Di sini adalah letak masalahnya. Jika kekhawatiran penggugat adalah konten yang tidak berasaskan Pancasila, UUD 1945, dan tidak meningkatkan nilai moral, hal itu sudah dijawab oleh platform media sosial tersebut. Dalam standar komunitas Facebook (https://www.facebook.com/communitystandards/), tertera jika media sosial tersebut membatasi ekspresi atau melakukan sensor jika pengguna menyalahi beberapa nilai dasar. Seperti keaslian konten, keamanan yang mengakibatkan intimidasi, pengucilan, bahkan pembungkaman, privasi, serta martabat orang lain.
Sama halnya dengan Instagram. Dikutip dari standar komunitasnya (https://help.instagram.com/477434105621119), tercantum bahwa Instagram bukan tempat untuk mendukung atau mengagungkan terorisme, kejahatan terorganisasi, atau grup penebar kebencian. Menawarkan layanan seksual, membeli atau menjual senjata api, alkohol, dan produk-produk tembakau antar individu pribadi, serta membeli dan menjual obat-obatan terlarang atau dengan resep dokter (meskipun legal di wilayah Anda) juga tidak diizinkan. Instagram juga melarang penjualan hewan hidup antar individu pribadi, meskipun toko fisik mungkin menawarkan penjualan ini. Orang tidak boleh mengoordinasi perburuan ilegal atau penjualan spesies langka maupun bagian-bagian tubuh spesies tersebut.
Aturan senada juga dikeluarkan oleh Youtube. Mekanisme sensor sebenarnya sudah dimiliki dan dikerjakan oleh platform-platform tersebut. Seperti halnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengawasi konten penyiaran televisi. Atau Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia yang melakukan sensor terhadap tayangan film sebelum diputar di bioskop maupun televisi.
PERANG KONTEN
Sifat televisi adalah “memaksa”. Dalam artian, penonton tak bisa memilih ingin tayangan seperti apa. Semua sudah disajikan oleh lembaga penyiaran. Namun berbeda dengan media sosial. Penggunanya punya kuasa penuh di tangan masing-masing, apa yang ingin mereka saksikan.
Disadari atau tidak, gugatan tersebut juga menyiratkan ketakutan lembaga penyiaran akan kehilangan penonton. Canggihnya gawai saat ini, membuat masyarakat (umumnya perkotaan) tak lagi menonton televisi. Hiburan mereka kini bisa disokong dalam genggaman gawai. Apakah ingin menonton Live TV, TV on Demand, atau lainnya. Apalagi, usai menjamurnya video blogger (vlogger) akhir-akhir ini, yang justru mampu melahirkan konten lebih baik daripada televisi.
Jika yang dipermasalahkan adalah konten, seharusnya mereka tak perlu menggugat ke UU Penyiaran. Karena ranahnya sudah berbeda. Televisi adalah medium. Media sosial juga medium. Sudah tidak bisa lagi menyamakan keduanya, atau memaksa media sosial diatur dalam UU Penyiaran yang sejatinya mengurusi media berbasis frekuensi. Ibarat makan bakso dicampur dengan soto, tentu rasanya tidak nyambung.
Internet, atau media sosial diatur tersendiri dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam berbagai kasus pencemaran nama baik, perundungan, kriminal, dan kasus pidana lainnya selama ini di media sosial, selalu menggunakan UU tersebut. Meski UU tersebut masih tak sempurna, atau dimanfaatkan untuk menjerumuskan orang lain.
Sementara jika menyangkut konten pornografi, ada UU Pornografi yang bisa dijadikan pedoman. Apalagi, platform media sosial turut melakukan sensor. Baik yang berdasarkan sistem, maupun laporan pengguna media sosial tersebut.
Siaran langsung di media sosial merupakan salah satu bentuk kebebasan berekspresi yang menjadi hak asasi manusia. Mengekang kebebasan berekspresi tersebut, sama halnya dengan mengamputasi salah satu hak dasar manusia. Hal ini yang harus disambut oleh lembaga penyiaran. Bukan menolaknya, apalagi melawannya dengan menggugat ke pengadilan.
Sudah saatnya lembaga penyiaran tersebut berkaca. Jika ingin bersaing dengan media sosial, buatlah konten yang bermutu dan mendidik. Tidak sekadar acara kehidupan selebritis yang belum tentu bisa diikuti seluruh pemirsanya, maupun sinetron sampai berjilid-jilid yang tak jelas alur ceritanya. Sesekali, berpikirlah seperti vlogger. Rancang kontennya, diskusi isinya, benchmarking tayangan serupa, dan eksekusi dengan baik.
Sementara individu, atau kelompok masyarakat dan badan hukum selain lembaga penyiaran, tentu bisa lebih kreatif dan berhati-hati dalam membuat konten. Tidak asal membuat konten prank yang berujung jeruji besi. Buatlah konten sesuai keahlian dan kegemaran masing-masing. Dengan canggihnya teknologi saat ini, tentu kini tak sulit membuat konten yang enak ditonton, namun bisa mendidik dan menghibur.
Jika sudah cemburu, apapun bakal dilakukan agar “cintanya” kembali. (*)