Influencer Kebablasan

Influencer Kebablasan
Kredit foto:  Pixabay

Jagat dunia maya kembali heboh. Kali ini, usai salah satu musisi Indonesia mengundang narasumber yang katanya menemukan antibodi Covid-19. Selain itu, ia juga bilang kalau tes Covid-19 seharusnya hanya Rp20 ribu atau Rp30 ribu saja. Seketika, pernyataan orang yang mengaku ahli mikrobiologi ini mengundang respon netizen. Tak sedikit pula pakar yang menyanggah pernyataan dalam video blog (vlog) berikut.

KERJA JURNALISTIK

Yang dilakukan sebagian besar influencer saat ini, semisal dialog bermodel podcast, atau dialog dua arah sebenarnya masuk dalam kerja jurnalistik. Model dialog tersebut lebih dikenal sebagai wawancara tatap muka. Dengan host sebagai wartawannya dan mengundang narasumber secara langsung. Apalagi, hasil dialog tersebut dibagikan secara luas ke masyarakat melalui kanal Youtube.

Menurut Doug Newson dan James A. Wollert dalam Media Writing: News for the Mass Media (1985:11), berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang atau lebih luas lagi oleh masyarakat. Dalam kasus ini, perkara Covid-19 masih menjadi perhatian masyarakat luas. Yang jika ada informasi semisal penemuan vaksin atau apapun terkait hal tersebut, akan menyedot perhatian publik.

Sementara informasi dapat dikatakan sebagai berita jika disiarkan atau dipublikasikan melalui media massa. Hal tersebut setelah melalui beberapa tahapan dalam proses jurnalistik. Seperti pengumpulan informasi (wawancara, penelitian, pengumpulan data), konfirmasi, penulisan, dan penyebarluasan kepada publik. Permasalahannya adalah, vlog yang dikeluarkan oleh para influencer ini tidak dipublikasikan melalui media massa, melainkan melalui kanal Youtube atau media sosial.

MEDIUM BARU

Kehadiran Facebook, Twitter, dan Youtube sebagai media baru memang tak bisa dihindari. Kecepatannya dalam menyebarkan informasi mengalahkan media mainstream. Bahkan ketiganya kerap menjadi rujukan media mainstream untuk menggali informasi.

Apalagi, semenjak pandemi Covid-19 melanda, Youtube seperti menjadi media primadona. Publik figur berbondong-bondong memanfaatkannya untuk mencari sumber pendapatan baru. Setelah beberapa acara on air maupun off air banyak ditiadakan saat pandemi. Mulai dari konten reality showdaily life, maupun dialog dan podcast.

Yang jadi persoalan adalah, dialog tersebut dibawakan oleh orang yang tidak pernah berkecimpung di dunia jurnalistik. Mereka bukanlah wartawan, dan tidak terdaftar dalam organisasi profesi wartawan. Sementara itu, untuk menjadi wartawan yang kompeten, mereka harus melewati uji kompetensi wartawan yang tak mudah dan tak murah.

Sayang, saat penulis hendak memutar vlog kontroversial tersebut, sudah tak muncul di Youtube. Sang influencer pemilik akun sempat mengunggah instastory, yang menyebut videonya di-take down oleh Youtube. Penyebabnya, disebut karena konten yang tidak pantas.

Belakangan, pemilik akun tersebut justru membela diri dengan meminta si narasumber yang harus meminta maaf kepada publik. Apalagi ditambah dengan dalih pembelaan, jika vlog kontroversialnya itu lebih banyak dibagikan oleh netizen ketimbang konten inspiratif yang ia produksi. Apakah alasan ini masuk akal? Pembaca bisa menilai sendiri.

JAGA ETIKA

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia jurnalistik sekira 9 tahun, penulis termasuk yang tidak mempermasalahkan konten-konten dialog atau podcast dibawakan oleh para influencer. Ada beberapa alasan di dalamnya.

Pertama, mereka adalah publik figur. Mereka memiliki banyak penggemar, yang bahkan dengan sukarela akan mengikuti atau meneladani ketokohannya. Dengan bekal itu, para influencer ini bisa memengaruhi minimal fansnya, kemudian menjalar ke masyarakat luas.

Kedua, mereka didukung tim di balik layar. Terutama para influencer besar, artis ataupun tokoh-tokoh yang sudah malang melintang, mereka mempunyai tim kreatif yang seharusnya bisa memberikan ide terkait konten yang akan dibuat. Tak hanya sekadar video yang tidak goyang atau sinematografi yang apik, namun bisa menyumbang saran narasumber yang kredibel.

Ketiga, koneksi yang luas. Poin ini sudah pasti dimiliki para influencer. Mereka bisa mengundang siapa saja yang mereka mau. Namun yang utama, sekali lagi harus penulis ulang, harus mencari narasumber yang kredibel. Profiling, atau penelusuran riwayat calon narasumber penting diketahui sebelum mengundangnya. Agar informasi yang disebarkan kepada khalayak, dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Selain influencer yang pasti pembaca sudah banyak tahu dari tulisan di atas, masih banyak influencer lain yang menghasilkan konten dialog namun berbobot. Sebut saja di antaranya Deddy Corbuzier, Helmy Yahya, dan lain-lain. Kekuasaan media sosial sebenarnya sudah ada di tangan masing-masing. Tinggal bagaimana kemauan kita untuk memilih, apakah tetap akan menonton konten yang berkualitas atau yang kontroversial.

Dengan kejadian ini, semoga influencer tidak lagi asal dalam membuat kontennya. Karena meskipun mereka bukan wartawan, namun kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan mesti berdasarkan etika dan proses jurnalistik  yang benar. Jika tidak tahu prosesnya, tanyakan kepada ahlinya yang sebenarnya. Jangan pura-pura tahu, sehingga menjadi influencer yang kebablasan. (*)

Pos terkait

Berikan Komentar