Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 kurang dari dua bulan. Tepatnya 9 Desember 2020. Suasananya seperti yang sudah dibayangkan: tiap hari makin panas.
Adu program, argumen, dan gagasan kerap dilontarkan, terutama oleh para tim sukses dan pendukungnya. Utamanya, di media sosial. Baru-baru ini, ada tema teranyar yang dilontarkan: polling vs survei.
Pada dasarnya, polling dan survei ini sama: alat untuk mengetahui jawaban atau pilihan populasi masyarakat. Dengan menggunakan sampel yang bermacam-macam: random sampling, atau sampel yang sudah ditentukan kriterianya.
Tapi, apa yang membuat keduanya kerap dibenturkan? Beberapa orang menilai, survei lebih akurat karena melibatkan suatu lembaga. Dengan kata lain, terorganisasi. Mempunyai metode yang diklaim bisa dipertanggungjawabkan. Dengan keyakinan tersebut, survei diklaim sudah mewakili jawaban suatu populasi.
Jawaban itu tak salah. Namun juga belum tentu benar. Kenapa? Karena dengan terorganisasi ini, potensi untuk memilih sampel tertentu tentu saja ada. Tak ada yang bisa menjamin, pemilihan sampel untuk survei dilakukan merata di seluruh tempat. Jika dalam kasus ini sebuah provinsi, belum tentu dilakukan di semua kota. Jika dalam kasus ini sebuah kota, belum tentu pula dilakukan di seluruh kelurahan pun kecamatan.
Apakah ada potensi lembaga survei dibayar untuk memenangkan pilihan tertentu? Tentu saja jawabannya ada. Tapi ini hanya dugaan. Sejauh desas-desus yang kebenarannya perlu dibuktikan lagi. Jadi percaya dengan hasil survei adalah sah-sah saja. Tapi, jangan memercayainya bulat-bulat.
Lalu, bagaimana dengan polling? Teknik ini kerap dijumpai, utamanya oleh media daring. Apa yang membuatnya lemah dan tak bisa dipercaya? Karena sudah banyak tool polling yang bisa dimanipulasi sedimikian rupa. Contohnya, seseorang bisa melakukan polling berkali-kali cukup dengan clear cache dan cookies browsernya.
Hal ini sudah jamak terjadi. Dan jika ini yang dilakukan, hasil pollingnya memang tak bisa dipertanggungjawabkan. Namun, bagaimana jika ada metode tertentu, yang mengunci seseorang hanya bisa melakukan sekali polling? Meskipun di clear cache dan cookies browsernya, ia tak bisa melakukan polling ulang.
Metode ini bisa dengan merekam IP Address pengguna. Dengan demikian, satu orang, hanya punya satu kali kesempatan melakukan polling. Hasilnya pun bagaimana? Dengan metode ini, angka voters mungkin lebih kecil. Namun hasilnya, pun mendekati angka real. Cara ini, diyakini mendekati dengan hasil survei, dengan cakupan yang lebih luas.
Jadi apakah boleh percaya dengan polling dengan metode di atas? ya silakan saja. Sah-sah saja. Tapi sama dengan hasil survei di atas, jangan memercayainya bulat-bulat.
Jadi, apa kesamaan baru antara polling dan survei? Jangan memercayainya secara utuh. Karena keduanya, belum tentu mencerminkan hasil sesungguhnya saat pemilihan nanti. Pilihan sesungguhnya, ada di hati masing-masing individu, yang mencurahkan pilihannya pada bilik suara, 9 Desember mendatang. (*)