Reuni di UMM, Saling Berbagi dan Belajar

reuni
Reuni bersama keluarga besar Media Mahasiswa.

UNIVERSITAS Muhammadiyah Malang (UMM) adalah kampus tempat saya menimba ilmu. Kurang lebih empat tahun berada di Kampus Putih, turut membuka wawasan dan koneksi dengan orang-orang hebat. Kesempatan reuni kembali setahun pasca lulus pun terbuka, usai menghadiri kegiatan di Surabaya, 2017 lalu. Berikut kisah saya yang pernah terbit di harian Bontang Post.

Baca juga: Bertemu Azrul di Graha Pena

Oleh-Oleh Perjalanan dari Surabaya-Malang (2/Habis); Safari Kampus, Belajar Pengelolaan TV hingga Cari Bibit Jurnalis Muda

Usai belajar di Graha Pena Jawa Pos Surabaya selama dua hari, Muhammad Zulfikar Akbar juga berkesempatan “pulang kampung” ke Malang. Di Kota Apel tersebut, banyak pelajaran yang bisa diperoleh untuk dibawa pulang ke Bontang.

Muhammad Zulfikar Akbar, Bontang 

SELAIN menemui keluarga yang telah kembali ke Malang, tujuan saya yang lain yakni belajar mengenai teknis pengelolaan stasiun tv yang ada di kampus almamater saya, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Tak banyak pengalaman menjadi bagian dari tv kampus tersebut selama berkuliah di kampus yang khas dengan gedung bundarnya dan warna putih di seluruh gedungnya. Untuk itulah, ini menjadi kesempatan emas untuk kembali belajar mengelola tv, untuk diadaptasi di Bontang TV (BTV).

Stasiun TV bernama UMM TV tersebut bukanlah stasiun tv terestrial seperti kebanyakan tv lokal lainnya. Malahan, tv tersebut hanya aktif saat kegiatan kampus berlangsung, seperti seminar nasional, wisuda, dan kegiatan lainnya. Meski begitu, alat-alatnya cukup canggih untuk di kelasnya. Dibekali dengan ruangan mini studio yang representatif lengkap dengan pencahayaan dan green screen, serta master control room (MCR) yang apik, membuat siapa yang masuk dan melihatnya akan terkagum-kagum dan iri.

Hal itu pula yang saya rasakan begitu memasuki ruang laboratorium ilmu komunikasi yang memuat studio dari UMM TV. Meski baru sekitar delapan bulan meninggalkan kampus tersebut, namun rasa kagum selalu timbul kala melihat studio tv itu. Terlebih, sembari melihat para mahasiswa semester dua sedang mempraktikkan mata kuliah dasar shooting dan editing, membuat saya sediki bernostalgia pada masa-masa kuliah.

Di sana saya bertemu dengan kepala laboratorium yang sekaligus membidangi UMM TV, Jamroji. Usianya memang tak muda lagi. Meski tak mengetahui dengan pasti kisaran umurnya, namun rambutnya yang sudah memutih sudah menunjukkan bukti nyata. Meski begitu, Jamroji masih tetap semangat untuk mengajar, bahkan mengelola UMM TV di bawah kendali laboratorium ilmu komunikasi.

Dalam bincang-bincang tersebut, Jamroji mengaku kagum dengan hadirnya BTV yang kami rintis. Sejak awal kemunculannya, dia mencoba mengamati mulai program hingga kualitas gambar. Semula Jamroji mengira, butuh modal besar untuk membangun BTV dengan kualitas saat ini. Perkiraannya benar. Hanya saja, investasi itu sudah terlaksana beberapa tahun sebelumnya.

Tahun ini, kami tinggal menjalankan programnya saja. Pun Jamroji memberikan beberapa kritik dan saran kepada pengelolaan BTV berikutnya. Menurutnya, perkembangan teknologi yang makin masif harus mulai dimanfaatkan. Kecenderungan generasi saat ini untuk eksis di dunia maya pun juga mesti diperhatikan.

“Masyarakat yang gemar bermain gadget bisa dimanfaatkan untuk menyuplai konten-konten kreatif di tv,” begitu pesannya.

Pengelolaan studio pun demikian. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam membuat studio tv, seperti estetika, fungsinya, dan keefektifannya. Tanpa terasa, sesi sharing selama satu jam itu pun harus diakhiri karena ada kesibukan lain yang diemban Jamroji. Saya pun juga harus bersiap untuk menyampaikan materi kepada bibit-bibit jurnalis muda dan berbakat, keesokan harinya.

***

Agenda di UMM masih terus berlanjut. Usai belajar pengelolaan TV, kini saatnya berbagi ilmu kepada mahasiswa, sekaligus adik-adik tingkat yang saya tinggalkan amanah membesar pers mahasiswa yang saya dirikan, Media Mahasiswa.

Pers mahasiswa yang satu ini memang unik. Kala profesi sebagai wartawan lebih banyak didominasi oleh laki-laki, justru di Media Mahasiswa yang dominan adalah perempuan. Itulah yang membuat saya lebih semangat untuk membagi ilmu dengan mereka.

Bertajuk Kelas Inspirasi, saya diminta bercerita mengenai pengalaman selama delapan bulan menjadi jurnalis di Bontang Post. Mereka pun penasaran, bagaimana seorang jurnalis yang baru masuk di perusahaan media, bisa memperoleh jabatan sebagai redaktur sekaligus manajer dalam waktu yang sedemikian cepat. Kepada mereka, saya hanya memberikan satu tips, yakni bekerja dengan giat.

“Di saat yang lain bekerja dengan keras, kita harus bekerja dengan lebih giat dan keras lagi,” kata saya di hadapan mereka.

Pun beberapa pertanyaan sempat mengalir deras dalam sesi kelas inspirasi tersebut. Seperti suka duka menjadi jurnalis, rintangan terberat, hingga pertanyaan seputar cara membagi waktu dengan kegiatan lainnya. Beruntungnya, semua pertanyaan tersebut dapat saya jawab sesuai dengan pengalaman pribadi, sembari berharap benar-benar dapat memberikan inspirasi kepada mereka.

Tiga jam kelas inspirasi pun tak terasa, hingga akhirnya harus menyudahi kelas tersebut dengan dikumandangkannya azan maghrib. Meski harus diakhiri, namun saya melihat tatapan optimis dan semangat untuk tetap menjadi jurnalis yang berkualitas ada pada mata mereka. Saya pun turut yakin, dari sekian yang hadir pada kelas inspirasi tersebut, satu orang di antaranya akan ikut ke Bontang, dan turut membuat kualitas Bontang Post menjadi semakin baik. Semoga! (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *